Oleh: Pepih Nugraha, jurnalis penggiat media sosialTiba-tiba kata noise dan voice menjadi primadona di ranah media. Bukan karena dua kata bahasa Inggris itu sangat mirip dengan bunyi yang juga nyaris serupa (beda bunyi “n” dan “v” saja), tetapi dua kata itu seperti dilekatkan paksa kepada dua jenis media; media sosial dan media massa.Noise yang bermakna gaduh atau berisik (kasarnya resek) selalu diterakan kepada media sosial. Apa-apa yang tak penting seperti dengungan, grendengan, atau grundelan warga di media sosial, ya noise itulah. Sementara voice dimaknakan sebagai sesuatu yang penting, terhormat, teratur, dan terpercaya menyangkut berita yang ditulis/dilaporkan oleh wartawan profesional di media massa. Pendek kata, noise itu media sosial, sementara voice media massa.Saya menghadapi kenyataan, para insan pers media arus utama lebih mempertahankan voice yang mereka tulis atau laporkan daripada sekadar mengurusi noise (dengungan) di media sosial. Karenanya mereka lebih memilih mempertentangkan antara keduanya, noise versus voice, yang tak bisa dipersatukan dengan cara apapun seperti air dan minyak.“Kami memilih voice karena ini sesuatu yang bisa dipertanggungjawabkan secara profesional, ini pakem yang sudah tidak bisa diganggu gugat. Biarlah noise hanya terjadi di media sosial yang tidak ada kaitan dengan kerja newsroom media kita,” demikian kira-kira argumen seorang tokoh media yang saya dengar langsung.Tidak ada yang keliru dari semangat mempertahankan diri dari kesejatian media massa yang sudah berlangsung secara turun-temurun dari generasi ke generasi itu, sejak koran masih bernama courant atau majalah masih bernama gazette. Jangan-jangan malah sejak anggota dewan kota Romawi mencatatkan peristiwa sehari-hari parlemen dalam acta diurna yang kemudian menjadi jurnal, sebuah kata yang diduga dari mana istilah “journalism” bermuasal.Tentu saja penggiat media arus utama, apalagi mereka yang duduk di puncak hierarkis organisasi media memegang teguh credo “facts are sacred”, bahwa publik pembaca memerlukan informasi berdasarkan peristiwa faktual yang dilaporkan wartawan profesional daripada opini liar dari –meminjam pernyataan salah seorang menteri yang kontroversi— warga yang nggak jelas. Memang tersedia tiga pilihan terbuka: pertama, mempertentangkan noise lawan voice secara diametral tanpa kompromi; kedua, mengawinkan noise dengan voice dalam sebuah media; ketiga, mengolah dan menyaring dan memodifikasi noise menjadi voice sebagai informasi baru dari warga pengguna. Pilihan pertama jelas diambil oleh penggiat media arus utama yang tidak ingin fakta-fakta sucinya dicemari oleh dengungan atau grundelan publik yang tidak berguna. Karena sikapnya statis, ia harus "say goodbye" kepada konten (sebagus apapun) di media sosial. Pilihan kedua agak lumayan dinamis karena berupaya mengawinkan atau menyandingkan konten warga di media sosial dengan berita hasil kerja wartawan dalam satu media yang sama. Sedangkan pilihan ketiga selain dinamis, juga inovatif karena menjadikan keriuhan dan dengungan warga di media sosial menjadi informasi yang bermanfaat untuk publik pembaca media arus utama tersebut.Analogi kehadiran media baru dalam skala tertentu mirip dengan kelahiran ideologi baru; diremehkan, dihina, dilecehkan, dicurigai, dan karenanya harus dibasmi karena mengusik “keyakinan lama” yang sudah mengakar secara turun-temurun. Meski semangatnya demikian, ideologi atau bahkan agama yang baru lahir tidak bisa dibasmi begitu saja oleh pemeluk keyakinan lama dan malah berkembang luas, sementara ideologi lama yang telah lebih dahulu lahir juga tetap ada. Ini hanya soal “kecemburuan”.Demikian juga kelahiran media baru. Kelahiran media baru sejatinya tidak pernah menggantikan secara penuh media-media yang telah lebih dahulu ada, malah pada akhirnya saling melengkapi, bersinergi dan berkonvergensi. Taruhlah tonggak kelahiran media bermula dari media cetak (print) –saya harus berterima kasih kepada Johannes Gutenburg— yang tetap ada meski media elektronik (televisi dan radio) dan media online kemudian hadir. Kelahiran media baru tidak lantas menghapus keberadaan media yang telah lebih dahulu ada. Banyak orang keliru memprediksi bahwa cetak akan habis tatkala radio muncul, radio-cetak akan tandas tatkala televisi datang, televisi-radio-cetak akan musnah tatkala online tiba. Kenyataannya tidak demikian. Kehadiran media baru tidak lantas menenggelamkan media lama yang telah lebih dahulu hadir. Jadi, apa yang harus dicurigai tatkala media baru bernama media sosial lahir? Meski Philip Meyer dalam The Vanishing Newspaper memprediksi bahwa "print" akan habis pada tahun 2043, saya meyakini koran-radio-televisi-online akan tetap eksis. Menjadi dicurigai akan merusak kesucian media massa, karena boleh jadi yang menyediakan konten media sosial adalah warga biasa yang bukan jurnalis profesional. Tahu apa warga biasa untuk urusan media? Demikian pertanyaan yang mengemuka. Mungkin harus selalu diingatkan, banyak di antara warga pengisi konten sosial media itu, baik dari strata pendidikan, jabatan maupun profesionalisme, adalah orang-orang mumpuni di bidangnya dan ternama, yang kadang di antara mereka sudah mencapai strata pendidikan tertinggi seperti doktor atau profesor. Tentu bukan mengecilkan makna penting jurnalis, wong saya juga jurnalis, yang memang hanya dapat dihitung jari saja di antara mereka yang telah meraih gelar doktor untuk ilmu tertentu, apalagi bergelar profesor. Itupun setelahnya mereka tidak aktif lagi sebagai jurnalis dan lebih memilih mengabdikan diri di tempat lain, menjadi dosen, misalnya.Apakah kalau orang-orang hebat yang bukan wartawan profesional bersosial media suara mereka lantas masih dianggap dengungan yang tidak berguna? Come on, buka mata dan hati, please!Sekarang, penggiat media arus utama kalau tidak mengikuti status Presiden Jokowi, mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pejabat tinggi lainnya atau bahkan artis papan atas, akan ketinggalan “berita” (news) dari sumber utama. Kok bisa? Karena mereka ini adalah narasumber sekaligus penggiat media sosial yang bisa menyuarakan pendapatnya sendiri di media baru yang bukan media massa. Suara atau pendapat mereka tetap punya nilai berita (news value) meski hanya bersuara di media sosial. Apakah ini juga termasuk noise tak berguna?Boleh jadi orang berpandangan statis yang mendewakan kejayaan media masa lalu tetap akan menganggapnya sebagai noise yang perlu verifikasi. Baginya, tanda contreng yang diterakan Facebook maupun Twitter kepada pemilik akun tertentu sebagai bukti verifikasi, belumlah cukup. Namun bagi orang dinamis dan inovatif, suara dan pernyataan para pejabat tinggi negara di media sosial itu tetap terpercaya yang layak dimunculkan sebagai berita.Untuk itulah, mengapa “media massa baru” dengan platform berita internet seperti Buzzfeed yang didirikan Jonah Peretti tahun 2006 lalu menjadi semacam tantangan bagi media arus utama, bahwa konten juga bisa didorong atau dihasilkan oleh breaking news yang disampaikan blogger (yang kenyataannya warga biasa), pemilik akun media-media sosial, dan juga media massa. Kehadirin media online Buzzfeed mau tidak mau meredefinisi makna dan kerja jurnalis serta newsroom itu sendiri. Alasannya, Buzzfeed tidak butuh lagi wartawan. Mereka hanya butuh “C3” alias "creative content creator" alias para penulis kreatif yang meramu noise menjadi voice. Buzzfeed lebih banyak mengaryakan insinyur teknologi informasi tinimbang menggaji wartawan yang harus mencari berita ke sana ke mari di lapangan. Ini kenyataan.Buzzfeed juga merekrut puluhan SEO analyst dan tim marketing digital sehingga dengungan (noise) tak berguna yang telah mereka ubah menjadi informasi baru yang bermanfaat (voice) dapat menjejali ruang-ruang maya dan menjadi anak emas Google di internet. Selanjutnya, Buzzfeed kerap mengusik kesadaran pembaca yang tak pernah ambil pusing dari mana konten yang dibacanya itu berasal.
Ubah "Noise" di Medsos Jadi "Voice" yang Bermanfaat
Pepih Nugraha - Jumat, 05 Juni 2015 | 13:19
Popular
Hot Topic
Tag Popular