Kabar kurang sedap menimpa investor terbesar Grab, yaitu Softbank, yang mengalami kerugian terbesarnya.
Kerugian yang dialami Softbank serta tingginya persaingan bisnis diperkirakan akan memberikan dampak bagi kelangsungan usaha Grab.
Oleh karena itu, Decacorn asal Malaysia itu dipaksa untuk mencari cara untuk mengamankan profitabilitas dan margin perusahaan.
Padahal, Masayoshi Son CEO Softbank Group dalam kunjungannya ke Indonesia pada Juli 2019 itu telah berjanji membenamkan investasi sebesar US$ 2 miliar untuk membangun 'markas kedua' bagi perusahaan bervaluasi US$ 14 miliar tersebut.
Baca Juga: Menkominfo Johnny G. Plate Berharap Ada Startup Hectocorn di Indonesia
SoftBank yang notabene investor terbesar Grab dengan total investasi mencapai US$ 3 miliar di Grab melaporkan kerugian sebesar US$ 8,9 miliar atau setara Rp 125 triliun pada kuartal pertama 2019.
Kemudian, seperti dikutip dari Fortune.com, pada Rabu (6/11) lalu, Softbank kembali melaporkan penurunan nilai aset besar-besaran atas investasinya di WeWork, startup penyewaan ruang kantor, hingga mencapai US$ 9,2 miliar atau setara 90% dari total investasi Softbank di WeWork yang tercatat sebesar US$ 10,3 miliar.
“Ini murni kesalahan penilaian saya, yang saya harus renungkan,” ujar Masayoshi di hadapan para investor dan media.
Baca Juga: Penting! Menurut BEKRAF Ternyata Hal Ini yang Dapat Membuat Startup Bisa Bertahan
Tidak hanya terancam dari sisi dukungan investor, Grab yang berambisi menjadi superapp itu diyakini masih mencatat kerugian akibat model bisnisnya yang terus membakar uang untuk membiayai promosi guna memenangkan persaingan pasar.
Upaya Grab untuk dapat mendongkrak margin perusahaan terbentur persaingan bisnis yang sangat tinggi di Asia Tenggara dan sejumlah regulasi.
Baru-baru ini, misalnya, sebuah peraturan baru telah diterbitkan oleh Pemerintah Singapura yang intinya melarang penggunaan skuter listrik di jalur pejalan kaki sehingga secara tidak langsung memukul bisnis layanan pesan-antar makanan yang dilayani Grab melalui aplikasi GrabFood.
GrabFood yang dilaporkan telah mendominasi pasar pesan-antar makanan di Singapura diketahui mengandalkan penggunaan skuter listrik untuk mempercepat pengiriman pesanan.
Baca Juga: Datanest, Startup Data Science Indonesia Yang Lolos Demo Day Accelerating Asia 2019
Oleh karenanya, larangan tersebut diyakini pihak manajemen Grab akan mengakibatkan tertundanya pengiriman atau pembatalan pesanan.
Kemudian uji coba layanan telehealth Grab pada bulan lalu yang mengusung konsep konsultasi medis berbasis aplikasi untuk pengguna di Indonesia, diperkirakan akan sulit berkembang.
Tidak hanya dinilai terlambat dari target peluncuran awalnya, yaitu kuartal pertama 2019 sejak diumumkan tahun 2018, peluncuran aplikasi itu juga dinilai terlambat dari pesaingnya.
Gojek bahkan telah lebih dulu menjajal bisnis telehealth dengan menggandeng startup lokal seperti Halodoc.
Baca Juga: Cumi, Startup Christian Sugiono Ini Raih Pendanaan dari East Ventures
“Gojek akan mengambil pendekatan yang lebih terukur. Sekarang kita berada di waktu yang berbeda, dan kita akan beroperasi dengan tepat," kata co-CEO baru Kevin Aluwi.
Di Indonesia, reputasi Grab juga menjadi dipertanyakan setelah Co-founder dan CEO Gojek Nadiem Makarim baru-baru ini memutuskan bergabung dengan pemerintahan baru Presiden Joko Widodo.
Menurut pengamat investasi di Singapura, seperti dikutip dari asia.nikkei.com, tentunya penunjukkan Nadiem sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI ini membuktikan jika Gojek lebih dihormati di Indonesia ketimbang Grab, sehingga secara bersamaan hal itu menaikkan gengsi brand Gojek itu sendiri.
Sebelumnya pendiri Grab, Tan Hooi Ling kepada Nikkei Asian Review pernah mengatakan bahwa pihaknya percaya pemerintah Indonesia bersikap adil dengan menciptakan kesempatan bisnis yang sama bagi semua orang, karena hal itu juga menyangkut kepentingan pemerintah Indonesia.